Pengembangan UKM

Membangun kemandirian UKM merupakan salah satu bentuk kewajiban kita, karena Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya menyatakan bahwa “kalian akan ditolong dengan sebab kaum dhuafa diantara kalian�. Tentu saja, untuk mengundang turunnya pertolongan Allah SWT, maka kita berkewajiban membantu kaum lemah di negeri ini dengan mengembangkan industri UKM secara bersama-sama.
Salah satu upaya konstruktif dalam menyelaraskan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan adalah dengan memberikan kesempatan kepada setiap individu dalam masyarakat untuk mengoptimalkan segala kemampuan dan produktivitasnya didalam mengelola berbagai sumberdaya yang ada. Upaya ini tidak akan terealisasikan jika tingkat pengangguran dan tenaga kerja yang memiliki skill yang rendah, masih berada pada level yang tinggi.
Instrument kebijakan yang biasanya diadopsi untuk mengurangi tingkat pengangguran adalah ekspansi permintaan agregat (aggregate demand) dan kebijakan industrialisasi, baik dalam skala modal besar maupun skala menengah. Bagaimana pun juga, kebijakan ini akan menjadi lebih efektif bila perspektif yang digunakan adalah dalam konteks pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pengembangan UKM (usaha kecil dan menengah). Hal ini akan memberikan manfaat yang lebih besar pada sebagian besar masyarakat. Kondisi makroekonomi dan ketidakseimbangan eksternal, dimana tidak memungkinkan adanya perluasan permintaan agregat domestik secara signifikan, juga akan memperkuat kebijakan tersebut.
Mempromosikan UKM Ajaran Islam adalah ajaran yang sangat memperhatikan kepentingan kaum lemah. Dalam QS 59 ayat 7 Allah SWT melarang berputarnya harta (modal) hanya dikalangan orang-orang kaya saja. Berdasarkan ayat ini, maka kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya aktivitas perekonomian hendaknya melibatkan partisipasi aktif dari kelompok masyarakat kelas menengah kebawah, yang notabene mereka adalah mayoritas di suatu negara. Tidak hanya didominasi kelompok-kelompok elite saja.
Tentu saja pengembangan UKM sebagai institusi yang mampu mengaktifkan partisipasi masyarakat harus mendapat perhatian kita semua. Jika kita melihat kenyataan, maka pada umumnya negara-negara muslim di dunia saat ini berada dalam kategori negara berkembang, dimana mereka memiliki surplus jumlah tenaga kerja, kekurangan modal dan alat tukar perdagangan luar negeri, serta minimnya infrastuktur pendidikan dalam pengembangan teknologi. Dengan kondisi tersebut, maka pilihan untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan pilihan yang sangat tepat dalam rangka mereduksi pengangguran dan menyerap angkatan kerja yang ada dengan membuka lapangan pekerjaan baru. Bahkan menurut Imam Hasan al-Bana --dalam diskusinya tentang reformasi ekonomi dalam ajaran Islam-- usaha kecil dan menengah ini akan mampu membantu menyediakan lapangan kerja produktif bagi keluarga miskin, dan kemudian akan meminimalisir tingkat kemiskinan yang ada.
Dr Muhammad Yunus pun menegaskan bahwa “upah pekerjaan bukanlah jalan `bahagia` dalam mereduksi kemiskinan, tetapi mengembangkan usaha sendiri (baca : memiliki usaha sendiri walau dalam level UKM) lebih memiliki potensi untuk mengembangkan basis aset seseorang.� Fakta juga membuktikan bahwa strategi industrialisasi dalam skala besar ternyata belum mampu menyelesaikan problematika pengangguran dan kemiskinan secara global. Bahkan dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Michigan State University, AS, di sejumlah negara, ternyata ditegaskan bahwa UKM telah memberikan kontribusi nyata yang sangat berharga didalam menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan (lihat M Umer Chapra dalam Islam and Economic Development).
Di samping itu, UKM ini pun mampu mengembangkan eksport dan mengoptimalkan SDM yang ada, walaupun dengan akses kredit yang sangat minim baik dari pemerintah maupun perbankan. Dalam studi tersebut, juga disimpulkan bahwa UKM ini telah secara konsisten mampu menghasilkan output per unit modal, lebih besar dengan dari apa yang telah dihasilkan oleh industri skala besar. UKM ini telah menjadi alat yang efektif didalam meningkatkan kontribusi sektor privat baik dalam pertumbuhan maupun pemerataan yang obyektif di negara-negara berkembang. Jika kita melihat pengalaman Jepang misalnya, maka salah satu kunci keberhasilan ekspor Jepang yang luar biasa tersebut adalah karena kemampuannya didalam membangun persaingan domestik diantara perusahaan-perusahaan yang memberikan sub kontrak pekerjaan mereka kepada industri UKM. Industri UKM di Jepang telah mampu menghasilkan 50 % dari total keseluruhan output industrinya, dan menyerap 75 % angkatan kerja Jepang. Begitu pula dengan bisnis retailnya, yang 75 persennya dikelola oleh usaha toko keluarga yang dilindungi oleh hukum.
Di Jerman sendiri pun, kesadaran untuk mengembangkan usaha kecil menengah semakin besar, karena ternyata industri rumah tangga mampu memainkan peran signifikan dalam perekonomian Jerman. Tetapi jika kita melihat kondisi Indonesia, maka kita akan sangat miris melihat kenyataan bahwa UKM ini belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah, padahal angka pengangguran kita sangat tinggi, yaitu 40 juta orang atau 18 % dari total keseluruhan jumlah penduduk.
Strategi Pengembangan UKM
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana mendorong perkembangan UKM ini di negara-negara muslim termasuk Indonesia? Tentu saja ini membutuhkan perubahan yang sangat revolusioner dalam lingkungan sosial ekonomi.
Pertama, harus ada perubahan gaya hidup dari ketergantungan terhadap produk impor menjadi kebiasaan mengkonsumsi produk domestik. Ini akan mendorong konsumsi produk dalam negeri yang akan menstimulasi berkembangnya industri dalam negeri.
Kemudian yang kedua, harus ada perubahan sikap dan kebijakan dari pemerintah didalam memandang UKM, bahwa UKM ini harus mendapat dukungan penuh.
Yang ketiga, industri UKM ini harus mendapat dukungan dalam mendapatkan input produksi yang lebih baik, teknologi yang tepat guna, teknik pemasaran yang efektif, dan pelayanan lain yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan bersaing dengan industri besar, baik persaingan harga maupun kualitas.
Keempat, UKM ini harus mampu meningkatkan skill dan kemampuannya. Tentu saja pemerintah harus menyediakan fasilitas training yang memadai dan institusi pendidikan yang berkualitas.
Kelima, industri UKM ini harus diberi akses yang luas terhadap keuangan, dimana hal ini seringkali menjadi sumber masalah yang menghambat perkembangannya.
Kemudian yang keenam, pemerintah harus mampu mengeliminasi berbagai hambatan yang akan merintangi perkembangan dan ekspansi industri UKM. Pencapaian tujuan untuk substitusi impor dan promosi ekspor tidak akan dapat direalisasikan melalui pengembangan UKM jika industri ini tidak dibantu untuk mampu mengembangkan efisiensi teknologi yang memungkinkan mereka untuk bersaing secara efektif. Karena itu adalah langkah yang tepat jika dikembangkannya teknologi tepat guna yang berbasis sumberdaya lokal. Hal ini sangat menguntungkan karena membutuhkan modal yang minimal, cocok diterapkan di negara-negara berkembang yang masih memiliki kelemahan dalam institusi pendidikannya, dan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap teknologi impor. Industri UKM ini pun harus didorong untuk dapat berkembang di daerah pedesaan dan kota-kota kecil. Hal ini akan mengurangi perbedaan dan ketimpangan pendapatan secara regional, mereduksi konsentrasi penduduk di daerah kota-kota besar semata, meningkatkan pendapatan dan standar hidup, serta akan lebih memeratakan pendapatan dan kesejahteraan.

Ditulis oleh Irfan Syauqi Beik, Msc

Perusahaan yang Pailit dan Penyebabnya

Perusahaan yang Pailit
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
...
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut :
a) Adanya utang;
b) Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo;
c) Minimal satu dari utang dapat ditagih;
d) Adanya debitor;
e) Adanya kreditor;
f) Kreditor lebih dari satu;
g) Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”;
h) Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;
i) Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan;
Harus dapat dipahami perbedaan antara Bangkrut dan Likuidasi.
Kalau likuidasi itu penutupan atau penghentian aktifitas perusahaan, seluruh asetnya dijual kemudian dipake untuk bayar kewajiban-kewajibannya
Bangkrut adalah kondisi dimana orang/perusahaan yang sudah tidak memiliki kemampuan bayar terhadap kewajibannya (hutang) atau istilahnya insolvent atau hutangnya sudah melampaui asetnya. Status legal bangkrut dapat disahkan oleh pengadilan, baik yang diajukan sendiri oleh perusahaan tersebut (debitor) atau oleh pihak ketiga (kreditor).
Perusahaan yang sudah mendapat status bangkrut oleh pengadilan masih dapat beroperasi seperti biasa, tetapi dibawah pengawasan pengadilan dan mendapatkan perlindungan terhadap kreditor mereka sampai kondisinya menjadi lebih baik. Perusahaan tersebut masih dapat keluar dari status bangkrut melalui beberapa cara:
1. restrukturisasi, sampai kembali menjadi profitable
2. di take over oleh pihak ketiga, bisa kreditornya, pesaing, dll
3. likuidasi atau stop operasi

Pengembangan Organisasi

1. Pengertian Pengembangan Organisasi (OD)
a.Strategi untuk merubah nilai-nilai daripada manusia dan juga struktur organisasi sehingga organisasi itu adaptif dengan lingkungannya.
b.Suatu penyempurnaan yang terencana dalam fungsi menyeluruh (nilai dan struktur) suatu organisasi.
2. Mengapa Pengembangan Organisasi (OD) Perlu Dilakukan?
Dalam kenyataannya organisasi seringkali terjadi stagnan yang disebabkan keengganan manusia untuk mengikuti perubahan, dimana perubahan dianggap bisa menyebabkan dis equilibrium. Hal ini mengakibatkan patologi dalam organisasi sehingga perlu dilakukan evaluasi, adaptasi, kaderisasi dan inovasi.
Sebab-sebab penolakan/ penentangan terhadap perubahan adalah :
a.Security
Merasa tidak aman dengan kondisi baru yang belum diketahui sehingga perlu penyesuaian.
b.Economic (berkaitan dengan untung rugi)
Organisasi cenderung menolak perubahan karena tidak mau menanggung kerugian dengan adanya perubahan.
c.Psikologis dan budaya/kebiasaan
Ø Persepsi
Persepsi yang salah bisa menjadi sumber terjadinya sikap menentang terhadap perubahan.
Ø Emosi
Emosi akan menimbulkan prasangka sehingga cenderung menolak perubahan.
Ø Kultur
Berguna sebagai dasar dalam menilai hal-hal baru yang diterimanya.
Faktor –faktor penyebab dilakukannya pengembangan organisasi adalah :
a. Kekuatan eksternal
Ø Kompetisi yang semakin tajam antar organisasi.
Ø Perkembangan IPTEK.
Ø Perubahan lingkungan baik lingkungan fisik maupun sosial yang membuat organisasi berfikir bagaimana mendapatkan sumber diluar organisasi untuk masa depan organisasi.
b. Kekuatan internal
Struktur, sistem dan prosedur, perlengkapan dan fasilitas, proses dan sasaran bila tidak cocok akan membuat organisasi melakukan perbaikan. Perubahan organisasi dilakukan untuk mencocokkan dengan kebutuhan yang ada.
Didalam OD terdapat pendekatan integratif yaitu :
a. Adanya organisasi dan manajemen yang terencana ke arah organisasi dan manajemen yang manusiawi.
b. Adanya perkembangan konsepsi latihan kepekaan dan studi laboratorium. Pemikiran ini didahului oleh Kurt Lewin mengenai Counter Group bergeser pda Incounter Group. Hal ini dirasa tidak bisa membantu didalam prakteknya.
c. Pengembangan potensi manusia.
Geseran didalam OD terjadai pada nilai, proses dan teknologi.
a. Geseran / perubahan nilai yang dibawa OD diantaranya adalah:
Ø Penggunaan seluruh sumber-sumber yang tersedia.
Ø Pengembangan potensi manusia.
Ø Efektivitas dan kesehatan organisasi.
Ø Pekerjaan yang menarik dan menantang.
Ø Kesempatan untuk mempengaruhi lingkungan kerja.
Ø Penerimaan terhadap kemanusiaan.
Nilai yang dicari untuk mengembangkan OD adalah nilai yang dianggap tepat, benar dan baik dalam pengelolaan SDM.
b. Geseran proses meliputi:
Ø Proses efektif
Ø Proses manajemen
Ø Proses pelaksanaan kerja
c. Geseran teknologi yang diutamakan adalah teknologi yang bisa menjawab kualifikasi posisi manusia.

3. Karakteristik Pengembangan Organisasi
a. Keputusan penuh dengan pertimbangan.
b. Diterapkan pada semua sub sistem manusia baik individu, kelompok dan organisasi.
c. Menerima intervensi baik dari luar maupun dalam organisasi yang mempunyai kedudukan di luar mekanisme organisasi.
d. Kolaborasi.
e. Teori sebagai alat analisis.
4. Langkah-Langkah Pengembangan Organisasi
a. Penilaian keadaan.
b. Pemecahan masalah.
c. Implementasi.
d. Evaluasi.
4.1. ACTION RESEARCH (PENELITIAN TINDAKAN)
Action Research merupakan tindakan pemecahan masalah organisasi yang dilakukan dengan berbasiskan data maupun model-model teori.
A. Tahap Penilaian Keadaan.
Didalam mengembangkan action research pada pengembangan organisasi menggunakan pendekatan sistem yang terdiri dari 4 komponen (Karl Albrecht) yaitu:
1.Sistem sosial
a. Orang-orang yang menjadi anggota organisasi.
b. Kekuatan formal dalam organisasi.
c. Nilai-nilai yang hidup dalam organisasi.
d. Norma-norma.
e. Sistem ganjaran.
f. Iklim sosial.
g. Jaringan komunikasi.
2.Sistem teknik
a. Orang-orang sebagai faktor produksi.
b. Fasilitas-fasilitas yang dipakai dalam faktor produksi.
c. Sumber modal.
d. Bahan mentah.
e. Arus kegiatan/ kerja.
f. Metode dan prosedur kerja.
3.Sistem administrasi
a. Orang-orang yang melakukan aktivitas pekerjaan.
b. Struktur organisasi.
c. Unit-unit yangada dalam organisasi.
d. Media yang digunakan dalam penyampaian informasi.
e. Arus informasi.
4.Sistem strategi
a. Kelompok manajemen puncak.
b. Hubungan hierarkhi.
c. Sistem perencanaan.
d. Petunjuk tertulis tentang prosedur kerja.
e. Sistem informasi manajemen.
Selain 4 komponen pendekatan system diatas, untuk mengadakan penilaian keadaan dapat pula dengan mempertimbangkan gaya kepemimpinan dan pengembangan kelompok.
B.Tahap Pemecahan Masalah
1. Perumusan pemecahan masalah
a. Permasalahan yang hendak dipecahkan dicari gejala permasalahannnya.
b. Apakah yang harus diubah untuk memecahkan permasalahan tersebut.
c. Sasaran apa yang diharapkan dari perubahan dan bagaimana sasaran itu diukur.
2. Peroleh data.
3. Analisa data.
C. Tahap Implementasi
Didalam tahap implementasi ini ada 3 pendekatan yang bisa dilakukan yaitu:
1. Share power (karyawan/ staf dan pimpinan mempunyai posisi yang sama dalam pengambilan keputusan).
2. Delegated (seberapa jauh karyawan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan)
3. Unilateral (tidak melibatkan karyawan)
Sedangkan Albrecht menitik beratkan tahap implementasi pada model “gelandang eksekutif” yaitu yang melakukan pengembangan dalam organisasi adalah pihak eksekutif (top manajer) dimana setiap anggota top manajer harus memberikan perhatian dan tanggungjawab pada pelaksanaan kerja. Tugas dari gelandang eksekutif itu sendiri adalah:
a. menyetujui agar setiap pekerjaan dapat dilaksanakan.
b. Meminta sumbangan pemikiran dari berbagai eksekutif.
D.Tahap Evaluasi
Tujuan :
1. Kesinambungan program.
2. Usaha membandingkan hasil dengan aktivitas yang dilakukan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap evaluasi:
1. Peninjauan Program.
Artinya setiap kegiatan harus dikaitkan dengan keseluruhan program.
2. Menentukan fakta baru.
Artinya harus melihat kembali 4 komponen pendekatan sistem.
Ø Sistem sosial (menyangkut norma dan nilai yang tumbuh dalam organisasi)
Ø Sistem teknik (menyangkut perubahan dan mencari nilai positif dari perubahan).
Ø Sistem administrasi (berkaitan dengan informasi dari pimpinan ke staf/karyawan atau sebaliknya apakah ada hambatan atau tidak).
Ø Sistem strategi.
Keempatnya dikaitkan dengan meningkat atau menurunnya produktivitas sehingga akan dapat diketahui berhasil atau tidaknya tujuan organisasi.
3. Mementingkan yang positif.
4. Lebih memfokuskan pada hal-hal yang sedang berlangsung.
5. Menciptakan penghargaan dan keyakinan bahwa keadaan akan menjadi baik.

Konflik Dalam Organisasi

Organisasi merupakan wadah di mana banyak orang berkumpul dan saling berinteraksi. Organisasi juga terbentuk karena adanya kesamaan misi dan visi yang ingin dicapai. Dari sini setiap individu atau unsur yang terdapat di dalam organisasi tersebut secara langsung maupun tidak langsung harus memegang teguh apa yang menjadi pedoman dan prinsip di dalam organisasi tersebut. Sehingga untuk mencapai visi dan menjalankan misi yang digariskan dapat berjalan dengan baik.

Seiring berjalannya waktu, di dalam organisasi kerap terjadi konflik. Baik konflik internal maupun konflik eksternal antar organisasi. Konflik yang terjadi kadang kala terjadi karena permasalahan yang sangat remeh temeh. Namun justru dengan hal yang remeh temeh itulah sebuah organisasi dapat bertahan lama atau tidak. Mekanisme ataupun manajemen konflik yang diambil pun sangat menentukan posisi organisasi sebagai lembaga yang menjadi payungnya. Kebijakan-kebijakan dan metode komunikasi yang diambil sangat memengaruhi keberlangsungan sebuah organisasi dalam memertahankan anggoa dan segenap komponen di dalamnya.

Konflik adalah perbedaan pendapat antara dua atau lebih anggota organisasi karena mereka mempunyai status atau tujuan yang menyimpang dari visi dan misi organisasi. Istilah konflik berasal daripada perkataan Latin conflictus yang bererti striking together. Konflik dikatakan wujud di mana-mana sahaja selagi ada interaksi sesama manusia (Grace, 1972). Banyak definisi tentang konflik telah dikemukakan oleh para penyelidik yang menjalankan kajian ke atas gelagat organisasi yang mengalami konflik. Antaranya, satu definisi ringkas tentang konflik telah dikemukakan oleh Moorhead dan Griffin (2004) iaitu konflik merupakan ketidaksetujuan antara pihak-pihak terlibat. Menurut mereka, apabila manusia, kumpulan-kumpulan atau organisasi-organisasi tidak setuju terhadap isu-isu tertentu, maka konflik biasanya timbul.

Menurut Robbins (2001), proses konflik terdiri daripada lima peringkat iaitu

Potensi Percanggahan atau Ketidaksepadanan – boleh diertikan sebagai punca konflik yang dibahagikan kepada tiga kategori iaitu komunikasi, struktur dan pembolehubah peribadi. Ketiga-tiga menyebabkan perbezaan atau perselisihan wujud.
Pertimbangan dan Keperibadian – Konflik dikatakan wujud hanya apabila ditanggap oleh pihak-pihak yang terlibat (perceived conflict) tetapi akan dirasai hanya apabila pihak berkenaan terlibat secara emosi (felt conflict) iaitu merasa bimbang, tidak puas hati, benci, mengalami ketegangan atau tekanan. Peringkat ini adalah penting kerana isu konflik mula ditakrifkan dalam minda individu yang terlibat.
Niat – Keputusan untuk bertindak dalam cara tertentu bagi menghadapi konflik yang wujud, misalnya mengelak, bekerjasama, berkompromi, menyesuaikan diri, bersaing dan sebagainya.
Tingkah laku – Konflik menjadi jelas pada peringkat ini. Peringkat tingkah laku merangkumi pernyataan yang dikeluarkan, tindakan yang diambil, dan gerak balas oleh pihak yang terlibat dalam konflik.
Hasil / kesudahan –Tindakan dan gerak balas pihak-pihak yang terlibat dalam konflik boleh memberikan kesan meningkatkan atau menurunkan prestasi kumpulan berkenaan.
Puncak-Puncak Konflik dalam Organisasi

Merujuk kepada konflik dalam organisasi, Roethlisberger (1959) telah menyatakan bahawa amalan pengurusan yang tidak mempertimbangkan sentimen pekerja sering kali didapati bercanggah dengan kehendak pekerja. Ini mengakibatkan perselisihan faham antara kedua-dua pihak pengurusan dan pekerja-pekerja. Ruben (1978) pula melihat aspek komunikasi sebagai satu punca konflik berlaku di mana dikatakan konflik merupakan hasil langsung daripada komunikasi yang tidak betul atau perselisihan faham.

Pendapat ini disokong oleh para penyelidik lain seperti Achoka (1990), Bondesio (1992) dan Robbins (2001) yang juga menyatakan bahawa komunikasi memainkan peranan penting dalam pembentukan konflik. Ketiga-tiga penyelidik berkenaan telah membahagikan punca konflik kepada tiga faktor utama iaitu faktor tingkah laku peribadi (pembolehubah peribadi), faktor struktur dan faktor komunikasi. Kesemua punca konflik ini dikatakan merupakan syarat berlakunya konflik dan diletakkan pada peringkat pertama dalam proses konflik yang dicadangkan oleh Robbins (2001) iaitu peringkat ‘Potensi Percanggahan atau Ketidaksepadanan’.

Menurut Owens (2004), terdapat beberapa jenis konflik asas yang terpendam boleh mengakibatkan konflik organisasi iaitu:

Kekurangan sumber dalam organisasi untuk memenuhi kehendak subunit dalam menjalankan kerja mereka mengakibatkan persaingan untuk mendapatkan sumber (misalnya, peruntukan bajet untuk setiap panitia; pengagihan tugas mengajar di kalangan guru; peruntukan ruang atau kemudahan kepada guru-guru, dan sebagainya)
Satu pihak ingin mengawal aktiviti-aktiviti kendalian subunit lain, dan subunit kedua ini menentang campur tangan pihak lain dalam aktiviti-aktiviti mereka (contohnya, bantahan guru-guru sains dan matematik ke atas campur tangan panitia bahasa inggeris dalam memantau dan mengawal aktiviti pengajaran mereka dalam bilik darjah)
Dua pihak dalam suatu organisasi yang perlu bekerjasama tetapi tidak dapat mencapai kata sepakat akibat pandangan berbeza (misalnya, konflik tentang tawaran jenis mata pelajaran di Tingkatan Empat bagi aliran sains kemanusiaan yang berlaku di kalangan guru kanan dan pihak pentadbir)
Konflik-konflik terpendam ini dikatakan lazimnya tidak akan hilang sepenuhnya dalam suatu organisasi, dan tidak ada satu cara terbaik untuk mengurus kesemua konflik ini. Sebab atau faktor yang dapat menimbulkan terjadinya konflik, yaitu:

Kepentingan lingkungan atau berbagai sumber daya yang langka.
Perbedaan pendapat dalam suatu organisasi.
Kurangnya koordinasi antar anggota dalam sebuah organisasi.
Saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan.
Karakteristik masing-masing anggota.
Sebab atau faktor lain.
Strategi Penyelesaian Konflik

Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah :

Kompetisi

Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.

Akomodasi

Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.

Sharing

Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.

Kolaborasi

Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.

Penghindaran

Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.

Sumber :

Modul Teori Organisasi Umum 1 Universitas Gunadarma

http://kulanzsalleh.com/kenapa-wujud-konflik-dalam-organisasi/

http://defickry.wordpress.com/2007/09/13/manajemen-konflik-dalam-organisasi/

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme